I.
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Salah
satu usaha untuk memenuhi kebutuhan protein hewani masyarakat adalah dengan meningkatkan produksi di
sektor perikanan. Udang merupakan
komoditi primadona, karena kemampuannya menembus pasar internasional, juga
memberikan andil yang tidak sedikit dalam meningkatkan devisa negara (Haliman dan Adijaya, 2005)
Kurun waktu terakhir ini produksi
udang dari hasil budidaya mengalami penurunan drastis akibat serangan
patogen, baik bakteri maupun virus. Upaya pemerintah dalam rangka untuk
memulihkan kondisi budidaya yang sedang menurun tersebut dilakukan melalui
alternatif udang vannamei, yang pada akhirnya udang jenis ini mampu menjadi
komoditas perikanan yang memiliki prospek yang cukup baik karena bernilai
ekonomis dan banyak diminati masyarakat (Haliman dan
Adijaya, 2005).
Untuk mengantisipasi
hal tersebut, dilakukan melalui upaya pembenihan udang vannamei baik berskala
kecil atau skala mini hatchery hingga usaha pembenihan yang dimiliki
pemerintah.
Benur merupakan salah satu faktor
utama keberhasilan dalam budidaya.
Karena itu benur yang banyak diminati para petambak ini harus
ditingkatkan baik dari segi kualitas maupun kuantitasnya. Hal ini selayaknya
mampu menjadi pendorong dalam menghasilkan benur yang benar-benar berkualitas
bagi pengembangan budidaya udang vannamei di Indonesia.
Berdasarkan
permasalahan di atas penulis akan melakukan PKL di daerah Situbondo dengan topik teknik pemeliharaan larva
udang vannamei (Litopenaeus vannamei).
1.2 Tujuan
Tujuan Praktek Kerja Lapang (PKL) II adalah untuk meningkatkan
pengetahuan dan keterampilan tentang teknik pemeliharaan larva udang vannamei
(Litopenaeus Vannamei) di BBAP
Situbondo
Provinsi Jawa Timur.
·
Mengetahui tentang teknik
pembenihan khususnya teknik
pemeliharaan larva udang vannamei.
·
Mengikuti secara langsung
tentang kegiatan yang sedang berlangsung di tempat tersebut.
·
Memperoleh pengetahuan dan
keterampilan tentang teknik pemeliharaan larva udang vannamei.
·
Mengetahui permasalahan dalam
pembenihan khususnya tentanng pemeliharaan larva udang vannamei.
·
Memperoleh data harga satuan beberapa sarana
produksi yang di gunakan pada pemeliharaan larva udang vannamei.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Biologi Udang Vannamei
2.1.1 Klasifikasi
Menurut Haliman dan Adijaya (2005), Klasifikasi udang
vaname (Litopenaeus Vannamei)
adalah sebagai berikut :
Kingdom : Animalia
Sub kingdom : Metazoa
Filum : Artrhopoda
Sub filum : Crustacea
Kelas : Malascostraca
Sub kelas : Eumalacostraca
Super ordo : Eucarida
Ordo : Decapoda
Sub ordo : Dendrobrachiata
Infra ordo : Penaeidea
Super famili : Penaeioidea
Famili : Penaeidae
Genus : Litopenaeus
Spesies : Litopenaeus
vannamei
2.1.2
Morfologi
Menurut
Haliman, R.W dan Adijaya, D.S (2005) tubuh udang vaname dibentuk oleh dua
cabang (biramous), yaitu exopodite dan endopodite. Vaname memiliki tubuh
berbuku-buku dan aktivitas berganti kulit luar atau eksoskeleton secara
periodik (moulting). Bagian tubuh udang vannamei sudah mengalami modifikasi
sehingga dapat digunakan untuk keperluan sebagai berikut.
1. Makan, bergerak, dan membenamkan diri ke dalam lumpur (burrowing). 2. Menopang insang karena struktur insang udang mirip bulu unggas. 3. Organ sensor, seperti pada antena dan antenula. Kepala (thorax).
Kepala udang vannamei
terdiri dari antenula, antena, mandibula, dan dua pasang maxillae. Kepala
udang vannamei juga dilengkapi dengan tiga pasang maxillipied dan lima pasang
kaki berjalan (periopoda) atau kaki sepuluh (decapoda). Maxillipied sudah
mengalami modifikasi dan berfungsi sebagai organ untuk makan. Endopodite kaki
berjalan menempel pada chepalothorax yang dihubugka oleh coxa.
Bentuk periopoda
beruas-ruas yang berujung di bagian dactylus. Dactylus ada yang berbentuk
capit (kaki ke-1, ke-2, dan ke-3) dan tanpa capit (kaki ke-4 dan ke-5). Di
antara coxa dan dactylus, terdapat ruang berturut-turut disebut basis,
ischium, merus, carpus, dan cropus. Pada bagian ischium terdapat duri yang
bisa digunakan untuk mengidentifikasi beberapa spesies penaeid dalam
taksonomi.
2.1.3 Habiitat dan Siklus Hidup
Udang
vannamei adalah udang asli dari perairan amerika latin yang kondisi iklimnya
subtropics. Di habitat alaminya dia suka hidup pada kedalaman kurang lebih 70
meter.Udang vannamei bersifat nocturnal, yaitu aktif mencari makan pada malam
hari. Proses perkainan pada udang vannamei ditandai dengan loncatan betina
secara tiba-tiba. Pada saat meloncat tersebut, betina mengeluarkan sel-sel
telur.Pada saat yang bersamaan, udang jantan mengeluarkan sperma sehingga sel
telur dan sperma bertemu. Proses perkawinan berlangsung kira-kira satu menit.
Sepasang udang vannamei berukuran 30-45 gram dapat menghasilkan telur
sebanyak 100.000-250.000 butir. Siklus hidup udang vannamei sebelum ditebar
di tambak yaitu stadia naupli, stadia zoea, stadia mysis, dan stadia post larva.
Pada stadia naupli larva berukuran 0,32-0,59 mm, sistim pencernaanya belum
sempurna dan masih memiliki cadangan makanan berupa kuning telur. Stadia zoea
terjadi setelah larva ditebar pada bak pemeliharaan sekitar 15-24 jam. Larva
sudah berukuran 1,05-3,30 mm dan pada stadia ini benih mengalami 3 kali
moulting. Pada stadia ini pula benih sudah bisa diberi makan yang berupa
artemia.Pada stadia mysis, benih udang sudah menyerupai bentuk udang.Yang
dicirikan dengan sudah terluhatnya ekor kipas (uropoda) dan ekor (telson).
Selanjutnya udang mencapai stadia post larva, dimana udang sudah menyerupai
udang dewasa. Hitungan stadianya sudah menggunakan hitungan hari.Misalnya,
PL1 berarti post larva berumur satu hari.Pada stadia ini udang sudah mulai
bergerak aktif.
2.1.4 Perkembangan Larva Udang Vannamei
Telur yang telah
menetas pada dasarnya masih bersifat planktonis dan bergerak mengikuti arus
air. Menurut Wyban dan Sweeney (1991) dalam
pertumbuhan, larva akan berkembang dengan sempurna pada kondisi suhu
26-28ºC, oksigen terlarut 5-7 mg/l, salinitas 35 ppt. Setelah menetas larva
akan berkembang menjadi 3 stadia yaitu nauplius, zoea, mysis. Setiap stadia
akan dibedakan menjadi sub stadia sesuai dengan perkembangan morfologinya.
Pergantian stadia terjadi setelah larva mengalami pergantian kulit
(moulting).
Menurut Martosudarmo
dan Ranoemiraharjo (1980) perkembangan larva udang vannamei pada setiap
stadia mulai dari stadia nauplius sampai stadia post larva sebagai berikut :
1. Stadia
Nauplius
Stadia ini terbagi menjadi enam tingkatan dan
berlangsung antara 35-50 jam. Pada stadia ini belum memerlukan makanan dari
luar karena masih memiliki cadangan makanan dari kuning telur. Karakteristik
larva pada stadia nauplius dapat dilihat pada tabel.
Tabel 1. Karakteristik larva udang pada stadia nauplius
Sumber : Haliman dan Adijaya, (2006)
2. Stadia Zoea
Pada fase ini larva mulai tampak aktif mengambil
makanan sendiri dari luar, terutama plankton. Fase zoea berlangsung selama
3-4 hari (3 stadia).
3. Stadia Mysis
Setelah fase zoea
selesai maka stadia selanjutnya adalah fase mysis yang berlangsung selama 4-5
hari. Fase mysis mengalami tiga kali perubahan atau stadia
4.
Stadia Post Larva (PL)
Bentuk paling akhir dan
paling sempurna dari seluruh metamorfosa adalah post larva (PL). pada fase
ini tidak mengalami perubahan bentuk karena seluruh bagian anggota tubuh
sudah lengkap dan sempurna seperti udang dewasa. Post larva yang berumur 20
-25 hari dapat dilepas di tambak.
Perkembangan
stadia Post Larva dapat dilihat pada gambar 1.
Gambar 1. Stadia Post Larva (Mudjiman. A ,1989)
2.1.5
Tingkah Laku Udang Vannamei
Dalam usaha
pembenihan udang, perlu adanya pengetahuan tentang tingkah laku udang.
Menurut Haliman dan Adijaya (2005), beberapa tingkah laku udang yang perlu
kita ketahui antara lain
1. Sifat nokturnal yaitu sifat binatang yang aktif mencari
makan pada waktu malam hari dan pada
waktu siang hari mereka lebih suka beristirahat, baik membenamkan diri pada
lumpur maupun menempel pada suatu benda yang terbenam.
2. Sifat kanibalisme yaitu sifat suka memangsa sejenisnya.
Sifat ini sering timbul pada udang yang kondisinya sehat, yang tidak sedang
ganti kulit. Sasaranya adalah udang-udang yang kebetulan ganti kulit.
3. Ganti kulit (moulting) yaitu suatu proses pergantian
kutikula lama digantikan dengan kutikula yang baru. Kutikula adalah kerangka
luar udang yang keras (tidak elastis). Oleh karena itu untuk tumbuh menjadi
besar mereka perlu melepas kulit lama dan menggantikan dengan kulit baru.
4. Daya tahan udang sangat besar pada waktu berupa benih
sangat tahan pada perubahan kadar garam (salinitas). Sifat demikian dinamakan
sifat euryhaline. Sifat lain yang menguntungkan adalah ketahanan terhadap
perubahan suhu dan sifat ini dikenal sebagai Eurytherma.
5. Menyukai hidup di dasar (bentik).
6. Tipe
pemakan lambat tetapi terus menerus (continous feeder).
2.2 Sarana dan
Prasarana
2.1.2 Sarana
Pokok
2.2.1.1 Bak Pemeliharaan Larva
Menurut Heryadi, D dan Sutadi (1993)
bak pemliharaan adalah bak unuk pemliharan larva. Untuk membangunnya perlu
diperhatikan bentuk dan ukurannya.
a.
Bentuk
Larva udang tidak memerlukan bentuk bak yang spesifik.
Bak dapat berbentuk segi empat, bulat, atau oval. Yang penting sesuai dengan
biaya yang tersedia dan agar bentuk pekarangan tetap indah
Bak larva sudut-sudutnya tidak mati, agar sisa-sisa
metabolisme, sisa-sisa makanan, larva yang mati, dan kotoran lainnya tidak
terkumpul pada bagian ini. Dasar bak memiliki kemiringan 2% kearah
pembuangan,agar mudah dikeringkan dan dibersikan. Sedang dinding harus licin,
agar kotoran, jamur atau parasit tidak menempel serta mudah dibersihkan.
b.Ukuran
Baik bak yang berukuran besar maupun yang kecil
keduanya sama baiknya. Karena keduanya dapat digunakan untuk menghasilkan
postlarva (PL) jual. Namun, dari kedua ukuran itu ada keuntungan dan
kerugiannya. Bak besa akan menciptakan kondisi air media yang stabil seperti
suhu dan salinitasnya, tetapi sering mendapat serangan penyakit.
Dengan demikian ukuran yang ideal adalah yang
kapasitasnya 10-20 ton; tingginya 1,2-1,5 m; panjang dan lebarnya
masing-masing 4 m dan 2,5 m.
2.2.1.2 Bak kultur pakan
alami
Menurut Heryadi, D dan Sutadi (1993) bak kultur pakan
alami dapat dibuat dari kayu yang dilapisi plastik atau semen. Ukuran bak
yang baik 10% dari ukuran kapasitas bak pemeliharaan, yaitu panjangnya 2 m;
lebar 2 m; tinggi 0,6 m. Bak sebesar itu sudah cukup untuk memenuhi satu
siklus pemeliharaan pada bak pemeliharaan yang berkapasitas 10 ton.
2.2.1.3 Instalasi Sistem
Aerasi
Oksigen terlarut (DO) merupakan faktor pembatas bagi sebagian
besar organisme aquatik, menurut Heryadi, D dan Sutadi (1993) bahwa oksigen
yang terlarut saling berkaitan dengan parameter-parameter kualitas air
lainya, oleh karena itu kandungan okigen harus stabil. Untuk menjaga
kestabilan oksigen terlarut di air media, maka perlu alat yang menyuplai
oksigen. Kalau hanya mengandalkan difusi dan fotosintesis Skletonema costotum
akan kurang mencukupi. Alat yang biasa di digunakan adaah blower yang
dilengkapi dengan slang, batu aerasi, dan kran pengatur udara.
2.2.1.4 Tenaga Listrik
Menurut Heryadi, D dan Sutadi (1993) tanpa energi
listrik, kegiatan operasional tidak dapat berjalan sesui rencana. Energi
listrik digunakan sebagai penggerak blower, pompa celup, dan penerangan
karenanya tenaga listrik disalur selama 24 jam. Sumber energi listrik
diperoleh dari mesin genset atau PLN.
Namun yang baik didatangkan dari PLN bila ditinjau dari
tegangannya maupun kebersihannya. Jika digunakan genset akan muncul asap sisa
pembakaran dan tumpahan solar yang akan mengganggu kehidupan larva.
2.2.2 Sarana Penunjang
Menurut Heryadi, D dan Sutadi (1993) yang merupakan sarana
penunjang yaitu saringan, termometer,
salinometer, pompa celup, ember, wadah penetasan Artemia sp.
2.3 Pemeliharaan
Larva Udang Vannamei
2.3.1 Persiapan
Bak
Menurut Heryadi, D dan Sutadi (1993) persiapan bak meliputi :
a. Sanitasi Bak
Bak pemeliharaan yang akan digunakan
harus disucihamakan sehingga bebas dari penyakit. Caranya, bak dikeringkan
(dijemur), kemudian dasar dan dinding bak disikat. Agar lebih steril gunakan
zat-zat kimia seperti klorin dengan dosis 100 ppm, KMnO4 (kalium permanganat)
10 ppm, dan formalin 50 ppm.
b.
Perlakuan air media
Air media, umumnya dibeli pada penjual khusus yang
menyediakan jasa penyaluran air laut. Air laut yang dibutuhkan adalah air
yang berkadar garam 29-31 permil, dan bebas bahan pencemar.
2.3.2 Penebaran Nauplius
Menurut Heryadi, D dan Sutadi
(1993) sebelum naupli ditebar ke dalam bak perlu diperhatikan salinitas,
kondisi naupli, dan suhu air media. Ciri naupli yang sehat, gerakannya sangat
aktif terutama jika kena sinar. Dan bila terjadi perbedaan suhu dan
salinitas, maka dilakukan proses penyesuaian yang dikenal dengan proses
aklimatisasi.
Aklimatisasi salinitas
dilakukan dengan cara, air media yang di dalam bak dialirkan ke dalam baskom
yang berisi naupli dengan menggunakan dengan menggunakan slang plastik yang
berdiameter kecil, sehingga aliran airnya hanya sebesar benag jahit.
Untuk penurunan kadar garam
sebesar 1 permil diperlukan waktu antara 15-30 menit. Apabila salinitas
antara air media pada bak pemeliharaan sudah sama dengan air media pada
baskom naupli, maka proses akilmatisasi salinitas dianggap selesai.
Setelah aklimatisasi selesai
naupli ditebarkan ke dalam bak pemeliharaan dengan menjungkirkan baskom yang
berisi naupli perlahan-lahan. Padat tebar nauplii yang aman berkisar 100-150
ekor/L.
2.3.3 Penyediaan Pakan
Jenis pakan yang diberikan pada larva
udang vannamei selama proses pemeliharaan yaitu pakan alami dan pakan buatan.
Pakan alami yang biasa diberian pada larva uadang vannamei yaitu Skeletonema
costatum dan Artemia sp. Pakan alami ini sangat dibutuhkan pada stadium akhir
napulius (N-6) atau awal stadium zoea. Sedangkan pakan buatan mulai
diperlukan ketika larva memasuki stadium zoea. Pakan buatan ini ada yang
dijual dalam bentuk kalengan maupun bungkusan.
Dosis pakan yang diberikan pada larva tidak dihitung
berdasarkan jumlah populasi larva, tetapi diukur dengan satuan ppm, sebab
larva membutuhkan pakan yang tersedia setiap saat. Yang dimaksud dengan ppm
adalah gram/ton volume air media yang jika pakan berbentuk tepung, sedangkan
yang cair ml/ton.Dosis terebut hanya untuk pakan buatan, sedangkan untuk
dosis pakan alami yaitu sel/cc/hari atau individu /ekor larva/hari.
Pemberian pakan dilakukan setiap 4-6 kali/hari dengan
selang waktu 4-5 jam. Larva suka makan pada malam hari maka pemberian pakan
pada malam hari lebih baik dari pada siang hari, yaitu pukul 05.00, 10.00,
15.00, 20.00 dan pukul 24.00.
Pemberian pakan dilakukan dengan cara dimasukkan kedalam
saringan yang kemudian dimaukkan ke dalam ember yang berisi air tawar.
Setelah itu saringn diremas-remas sampai pakan yang ada dalam saringan habis,
kemudian ditambahkan pakan alami. Pakan yang berada dalam ember yang berisi
air tadi langsung ditebar ke dalam bak pemeliharan (Heryadi D dan Sutadi, (1993).
2.3.4 Pengelolaan Kualitas Air
Menurut
Elovaara, A.K (2001) temperatur air untuk optimalkan pertumbuhan dan transisi
dari satu larva ke larva berikutnya adalah 280C, sedangkan salinitas adalah
26-30 dan pH sekitar 8,0, namun pH 7,8 sampai 8,4 sudah cukup.
Menurut Heryadi, D dan Sutadi (1993) dalam pengelolaan
kualitas air ada beberapa perlakuan agar air media tetap sesuai untuk
pertumbuhan dan kelangsungan hidup larva, diantaranya :
1. Penyimponan
Penyimponan dilakukan agar sisa-sisa pakan buatan
maupun sisa-sisa metabolisme larva dapat dikeluarkan sehingga tidak terjadi
penumpukan dan pembusukandalam air media.
Penyimponan
dapat dilakukan setelah larva mencapai stadium mysis, frekuensinya 2 hari
sekali, waktunya setelah
2 jam pemberian pakan. Cara menyimpon adalah sebagai berikut :
•
Blower dimatikan,setelah itu slang yang akan digunakan utuk menyedot air
diisi air penuh dan dipasang saringan pada salah satu ujungnya.
•
Kemudian slang dimasukkan kedalam bak dan ujungnya yang dilepas tutupnya
sehingga air keluar dengan sendirinya.
2.3.5 Pemanenan
Pemanenan
benur dilakukan mulai pada stadia PL10 atau ukuran PL telah mencapai 1 cm dan
yang telah memenuhi kriteria-kriteria benur yang siap dipanen. Caranya adalah
membuka saluran pembuangan yang telah diberi saringan di dalamnya agar air
yang keluar tidak deras dan benur tidak ikut keluar. Sebelum hal tersebut
dilakukan terlebih dahulu mengurangi ketinggian air hingga 6-10 cm sehingga
benur mudah ditangkap dengan menggunakan serok. Setelah ketinggian air
mencapai 5 cm hentikan penyerokan dan buka saringan, sehinga sisa benur akan
keluar bersama air tersebut. Langkah berikutnya adaptasi salinitas,
penghitungan, dan pengemasan. Survival rate yang di hasilkan dalam
pemeliharaan larva dengan rata-rata 30%
(Heryadi D dan Sutadi 1993).
2.3.6 Pemasaran
Hasil panen benur udang vannamei
biasanya langsung dibeli oleh para petambak yang langsung dating ke hatchery.
Benur udang vannamei yang sering dibeli yaitu benih vannamei yang sering
tebar yang berumur PL10-PL30. Harga jual udang sangat tergantung pada
kualitas benih. Benih tersebut harus sehat, kulit dan tubuh bersih dari
organisme parasit, tidak cacat, tubuh tidak pucat, gesit, merespon cahaya dan
bergerak aktif. Selain itu harga benih udang juga dipengeruhi oleh ukuran
panjang dan bobot sesuai umur PL serta musim penebaran benur di tambak
(Haliman dan Adiwijaya, 2005).
Untuk memperoleh harga jual yang
baik dan pemasaran yang efisien, penyusunan program pemasaran harus
dilibatkan sedikit mungkin pemasaran. Dengan demikian, jalur lembaga
pemasaran yang sedikit akan terbentuk margin pemasaran yang rendah sehingga
harga ditingkat hatchery tinggi dan harga ditingkat konsumen layak jadi kedua
belah pihak (pengusaha pembenihan atau pemeliharaan larva dengan konsumen)
sering diuntungkan. Margin pemasaran
adalah selisih antara harga ditingkat konsumen dengan harga jual di tingkat
produsen benur (Haliman dan Adijaya, 2005).
2.3.7 Pengangkutan
Menurut
Heryadi D dan Sutadi (1993) pengangkutan benur ummnya dilakukan dengan cara
tertutup dan terbuka. Pengangkutan cara tertutup disenangi karena
pengirimannya dapat dilakukan dengan menggunakan bus, kereta api, pesawat
udara, dan kendaraan lainnya. Cara ini membutuhkan es, kantong pastik, tabung
oksigen dan kardus Styrofoam.
Kunci
keberhasilan dalam pengangkutan cara tertutup adalah suhu dan kepadatan.
Dalam pengangkutan diusahakan agar suhu tetap rendah, oleh karena itu setelah
plastik diikat, maka bagian luarnya digantungkan plastik berisi es. Untuk
daerah tropis suhu yang dianggap aman adalah 18-20 0 C.
Kepadatan yang aman dalam pengankutan
cara tertutup yaitu 4.000-6.000 ekor /kantong. Setiap kantong diisi dengan 4
liter air dengan perbandingan oksigen dan air 5:1. Pengangkutan dengan cara
ini akan aman jika lama perjalanan maksimum 6 jam.
III. METODOLOGI
3.1 Lokasi dan Waktu Praktek Kerja Lapang (PKL) II
Praktek
Kerja Lapang (PKL) II ini dilaksanakan di BBAP
Situbondo selama 21 hari mulai
dari tanggal 10 Oktober sampai dengan 31
Oktober 2011.
3.2 Metode Praktek Kerja Lapang (PKL) II
Metode
yang digunakan dalam Praktek Kerja Lapang (PKL) II adalah metode survey yaitu
pengamatan yang dilakukan untuk memperoleh fakta-fakta dan mencari fakta
secara factual, tentang kegiatan pemeliharaan larva udang vannamei di BBAP (Nazir,
1988).
Sedangkan
untuk menambah keterampilan di lapangan digunakan sistem magang.
Martosudarmo, B dan Ranoemiharjo (1993) mengungkapkan bahwa setiap sistem
magang adalah suatu metode belajar mengajar dalam bentuk praktek secara
langsung di tempat yang digunakan untuk magang yang bertujuan untuk
meningkatkan keterampilan dan kecakapan dalam membuat kreatifitas, sikap
kritis, rasa percaya diri dan jiwa kewiraswastaan.
3.3 Sumber Data
Adapun
sumber data yang dikumpulkan adalah data primer dan data sekunder. Menurut
Subagyo (1981), data primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari
sumbernya sedangkan data sekunder adalah data yang diperoleh secara tidak
langsung melainkan data yang telah tersusun dalam bentuk dokumen-dokumen.
3.4 Teknik Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data
yang digunakan adalah metode observasi dan wawancara. Menurut Narbuko dan Ahmadi
(2001).
a.Observasi
Observasi
adalah pengumpulan data yang dilakukan dengan cara mengamati dan mencatat
secara sistematis gejala-gejala yang diamati, misalnya pengamatan kualitas
air, manajemen pakan, padat tebar, SR panen, hama dan penyakit serta cara
penanggulangannya.
b.Wawancara
Wawancara
adalah proses tanya jawab dalam penelitian yang berlangsung
secara lisan yang dimana seseorang atau lebih
bertatap muka mendengarkan
secara langsung informasi dan
keterangan dengan menggunakan alat bantu daftar pertanyaan seperti pada lampiran 1.
3.5
Teknik Pengolahan dan Analisis Data
Menurut Narbuko dan Ahmadi (2001), setelah data primer dan data sekunder terkumpul
kemudian data tersebut diolah dengan
cara:
a. Editing : Kegiatan mengecek, memeriksa dan
mengoreksi data yang
telah terkumpul.
b. Tabulating : Menyusun
data ke dalam bentuk tabel agar mudah
dimengerti.
Analisis data yang digunakan adalah
analisis deskriptif. Penggunaan analisis deskriptif bertujuan agar menyajikan
data sesuai dengan keadaan yang sebenarnya tanpa memberikan perlakuan apapun,
sehingga dapat dengan mudah mengambil kesimpulan. (Surayabrata, S. 1991).
|
IV. KEADAAN UMUM
4.1 Keadaan Umum
Lokasi
4.1.1 Lokasi
BBAP Situbondo
Balai Budidaya Air
Payau (BBAP) Situbondo terdiri dari lima divisi yakni, divisi ikan, divisi
udang, divisi budidaya, instalasi udang
Gelung dan instalasi pembenihan udang Tuban. Secara geografis BBAP Situbondo
terletak pada posisi 113055’56’’ BT – 114000’00” BT dan
07040’32” LS – 07042’35” LS. Divisi ikan sekaligus
sebagai kantor utama BBAP Situbondo terletak di Dusun Pecaron, Desa Klatakan,
Kecamatan Panarukan Kabupaten Situbondo. Divisi udang terletak di Desa Blitok,
Kecamatan Mlandingan Kabupaten Situbondo. Sedangkan divisi budidaya berlokasi
di Desa Pulokerto, Kecamatan
Kraton Kabupaten Pasuruan. Sedangkan instalasi pembenihan Gelung terletak di
Desa Gelung, Kecamatan Panarukan kabupaten Situbondo. Batas – batas lokasi BBAP
Situbondo yakni sebelah utara berbatasan
dengan selat Madura, sebelah Timur berbatasan dengan PT. Central Pertiwi Bahari
(CPB), sebelah selatan berbatasan dengan rumah penduduk dan sebelah barat
berbatasan dengan pemukiman penduduk Desa Klatakan.
4.1.2 Sejarah Berdirinya Balai Budidaya Air Payau (BBAP) Situbondo
Balai Budidaya Air
Payau (BBAP) Situbondo berdiri pada tahun 1986 yang pada awalnya bernama proyek
Sub Senter Udang Windu Jawa Timur di bawah naungan Direktorat Jendral
Perikanan, Departemen Pertanian. Sub senter udang windu ini terletak di Desa
Blitok, Kecamatan Mlandingan Kabupaten Situbondo dan merupakan cabang dari BBAP
Jepara, Jawa Tengah. Kemudian melepaskan diri dari BBAP Jepara dan berganti
nama menjadi Loka Balai Budidaya Air Payau yang ditetapkan pada tanggal 18
april 1994 melalui surat keputusan Menteri Pertanian nomor :
246/Kpts/OT.210/4/94. Loka Balai Budidaya Air Payau terdiri dari tiga divisi
meliputi divisi ikan, divisi udang dan divisi budidaya.
Loka
Balai Budidaya Air Payau Situbondo merupakan Unit Pelaksana Teknis (UPT)
Direktorat Jenderal Perikanan bidang pengembangan produksi budidaya perikanan
air payau yang bertanggung jawab kepada Direktorat Jendral Perikanan. Dengan
beban tugas dan tanggung jawabnya semakin berat maka pada tanggal 1 mei 2001
Status Loka Balai Budidaya Air Payau dinaikkan menjadi Balai Budidaya Air Payau
Situbondo berdasarkan surat Keputusan menteri perikanan dan Kelautan No. KEP.26
D.MEN/2001.
4.1.3 Tugas dan Fungsi BBAP Situbondo
Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kelautan dan
Perikanan No. KEP.26D/MEN/2001, Balai Budidaya Air payau Situbondo mempunyai
tugas melaksanakan penerapan teknik pembenihan pembudidayaan ikan air payau
serta pelestarian sumberdaya induk /benih ikan dan lingkungan. Dalam
melaksanakan tugas, BBAP Situbondo menyelenggarakan fungsi:
a. Pengkajian, pengujian, dan bimbingan
penerapan standar pembenihan dan pembudidayaan ikan air payau.
b. Pengkajian standard dan pelaksanaan
sertifikasi sistim mutu dan sertifikasi personil pembenihan serta pembudidayaan
ikan air payau.
c. Pengkajian
system dan tata laksana produksi dan pengelolaan induk penjenis dan induk dasar
ikan payau.
d. Pelaksanaan pengujian teknik
pembenihan dan pembudidayaan ikan air payau.
e. Pengkajian standar pengawasan benih,
pembudidayaan, serta pengendalian hama dan penyakit ikan air payau.
f. Pengkajian
standar pengendalian lingkungan dan sumber daya induk/benih ikan air payau.
g. Pelaksanaan sistim jaringan
labolatorium pengujian,pengawasan benih,dan pembudidayaan ikan air payau.
h. Pengelolaon
dan pelayanan informasi dan publikasi pembenihan dan pembudidayaan ikan air
payau.
i. Pelaksanaan
urusan tata usaha dan rumah tangga.
4.1.4 Struktur Organisasi
Berdasarkan
surat keputusan menteri Kelautan dan Perikanan No. KEP. 26 D/MEN/2001 pembagian
tugas dan fungsi kerja dengan susunan organisasi terdiri dari seksi
standarisasi dan informasi, seksi pelayanan teknis, sub bagian tata usaha dan
kelompok jabatan fungsional. Untuk lebih jelasnya struktur organisasi BBAP
Situbondo dapat dilihat pada lampiran 2.
Kepala BBAP Situbondo bertugas untuk
merumuskan kegiatan, mengkoordinasi dan mengarahkan tugas penerapan teknik
pembenihan dan pembudidayaan ikan air payau serta pelestarian sumber daya induk
atau benih ikan air payau dan lingkungan serta membina bawahan dan di
lingkungan BBAP Situbondo sesuai dengan prosedur dan peraturan yang berlaku
untuk kelancaran pelaksanaan tugas. Seksi standarisasi dan informasi mempunyai
tugas untuk menyiapkan bahan standart teknik dan pengawasan pembenihan dan
pembudidayaan ikan air payau.
Sub bagian tata usaha mempunyai tugas
melakukan administrasi keuangan, kepegawaian, persuratan, perlengkapan dan
rumah tangga serta pelaporan. Kelompok jabatan fungsional di lingkungan BBAP Situbondo
bertugas melaksanakan kegiatan perekayasaan, pengujian, penerapan, bimbingan
hama dan penyakit ikan, pengawasan pembenihan, pembudidayaan dan penyuluhan
serta kegiatan lain sesuai tugas masing – masing jabatan fungsional berdasarkan
peraturan perundang – undangan yang berlaku.
4.2 Sarana dan
Prasarana
4.2.1. Sarana
a) Bak
Induk
Untuk memproduksi nauplius udang vanname di butuhkan bak
induk yang di bedakan menjadi beberapa fungsi yaitu:
Ø Bak
penampungan / karantina: berfungsi untuk menampung induk yang baru datang,
diadaptasi dan dilakukan pengecekan penyakit. Bentuk bak bulat, oval aau
persegi panjang, bersudut tumpul dengan luas dasarminimal 20 m², dengan
ketinggian bak minimal 1m dan kedalaman air minimal 0,6 m ( jarak antara
permukaan air dan bibir bak minimal 0,3
m). warna dasar bak cerah dan warna dinding bak gelap, atau warna
keseluruhannya cerah. Bak terbuat dari semen, fiber glass atau plastik.
Ø Bak
pematangan dan perkawinan : berfungsi untuk pematangan gonad induk setelah
matang gonad dilakukan pada bak yang sama. Bentuk bak bulat, oval aau persegi
panjang, bersudut tumpul dengan luas dasarminimal 20 m², dengan ketinggian bak
minimal 1m dan kedalaman air minimal 0,6 m ( jarak antara permukaan air dan
bibir bak minimal 0,3
m). warna dasar bak cerah dan warna dinding bak gelap, atau warna
keseluruhannya cerah. Bak terbuat dari semen, fiber glass atau plastik.
Ø Bak
pemijahan dan penetasan : berfungsi untuk memijahkan induk yang telah matang
gonad, bentuk bulat, oval atau persegi panjang, bersudut tumpul dengan
ketinggian 0.8 m sampai dengan 1m. dan kedalaman air minimal 0,6 m serta luas
dasar bak minimal 2m². bak pemijahan ada yang berfungsi sabagai bak penetasan
jika telur tidak di cuci. Maka untuk bak penetasan volume minimal 300 liter
dengan ketinggian bak 0,8 m sampai dengan 1m dan kedalaman air minimal 0,6 m.
bak terbuat dari semen , fiber glass atau plastik.
b) Bak pemeliharaan
larva dan bak pakan alami
Bak pemeliharaan larva dan bak pakan alami pada
pembenihan udang umumnya tidak jauh berbeda karena
ukuran bak sama, dengan volume bak 3,75 m, lebar 2,75 m dan ketinggian 1,25 m bak berbentuk
persegi panjang dan sedikit miring dengan tujuan untuk mempermudah panen.
c) Instalasi
pengadaan air laut
Air laut baku merupakan kebutuhan pokok
dari suatu unit usaha pembenihan. Secara fisik air laut harus jernih, tidak
berbau dan tidak membawa bahan endapan baik suspensi maupaun amulsi. Untuk
mendapatkan air laut yang baik maka di butuhkan instalasi air laut yang terdiri
dari filter, pompa dan jaringan distribusi air laut.
d) Filter hisap
Sesuai dengan fungsinya filter hisap
ditempatkan pada bagian ujung pipa hisap pompa. Posisi penempatan filter dapat
vertikal maupun horizontal sesuai dengan kontur dasar perairan. Fungsi utama
filter hisap adalah mencegah terhsapnya partikel kasar dari perairan seperti
bebatuan , bahan organik dan jasad aquatik lainya yang dapat mengganggu atau
menghambat kerja pompa.
Pada umumnya filter hisap diletakan secara
horizontal untuk meringankan kerja pompa. Penempatan filter hisap pada perairan
yang memiliki terumbu karang diletakan melebihi gars surutair laut. Pada
perairan yang baik tidak memiliki terumbu karang dan memiliki sedimentasi yang tinggi.
Penempatan filter hisap diletakan
melebihi surut air laut terendah dengan menggunakan kerangka tancap di dasar
perairan.
Pada usaha pembenihan skala kecil filter
hisap di fungsikan
secara ganda sekaligus sebagai penyaring partikel tersuspensi terutama partikel
lumpur. Sistem filter ini sering disebut giant filter. Giant filter hanya dapat
digunakan pada perairan yang berpasir. Pasir dasar perairan berfungsi sebagai
bahan penyaring. Bahan pembuata giant filter umumnya terdiri atas pipa PVC yang
diameternya tergantung dari besarnya pipa hisap
yang digunakan dan dilubangi sekitar 1,5 inchi. Jumlah lubang diatur
sedemikian rupa sehingga jumlahnya maksimal. Pipa yang telah dilubangi
dibungkus dengan waring(screen) dan ijuk. Bagian terluar dibungkus lagi dengan
waring. Kemudian diletakan secarahorizontal dan dibenamkan kedalam pasir dengan
kedalaman 0,5-1 m.
Agar kerja filter hisap lebih maksimal
maka ukuran dan panjangnya disesuaikan dengan diameter pipa hisap ( ukuran
pompa) yang digunakan. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel beriku ini:
Tabel 2 . Panjang dan diameter pipa hisap
No.
|
Ukuran pipa pompa air laut
|
Diameter filter hisap
|
Panjang filter hsap
|
1
2
3
4
5
|
2”
4”
4”
4”
8”
|
4”
4”
6”
8”
8”
|
1 m
4 m
2 m
1 m
2 m
|
Sumber:
BBAP Situbonbo (2011)
e) Bak tandon
Bak tandon mekanis dibuat berdasarkan
kebuhan air laut maksimal perhari untuk 1 unit pembenihan dengan 12 buah larva
dan 24 buah bak paka alami dapat di buat 2 buah bak tandon dengan ukuran
4x4x1,3 m (kapasitas optimal 20 ton) dan satu bua bak tower air laut dengan
ukuran 4x4x2,2 m (kapasitas optimal 40 ton)
yang berfungsi sebagai distribusi air laut ke bak pembenihan dan bak pakan alami secara
gravitasi. Bak filter mekanis diletakan didalam bak tandon dengan ukuran 1 x 2
x 1.3 m. kedua tandon bak di hubungkan dengan pipa PVC 4” secara seri yang
dlengkapi dengan stop kran pencucian. Untuk mendistribusikan air yang sudah
terfilter secara gravitasi maka dibutuhkan pompa untuk menaikan air ke bak
tower.
Bak filter mekanis diisi dengan beberapa
material untuk menyaring partikel-partikel yang tersuspensi pada ai laut.
Beberapa meterial yang digunakan adalah batu kali ukuran sedang, batu kali
ukuran kecil (krikil), ijuk, arang kayu atau arang tempurung kelapa dan pasir
kwarsa (silikat). Batu kali dan ijuk berfungsi sebagai penyaring partiker
lumpur yang tersuspensi. Pasir kwarsa selain berfungsi sebagai penyaring
partikel lumpur yang utama juga berfungsi sebagai pengikat bahan- bahan organik
dan anorganik yang merugikan.
Urutan penempatan material filter
mekanis dari bawah ke atas adalah batu kali sedang, batu kerikil, arang kayu,
ijuk dan pasir kwarsa. Setiap lapisan dilapisi dengan screen atau waring.untuk
materal pasir kwarsa ketebalan yang di butuhkan ± 50 cm. Bak fiter mekanis
diisi penuh dengan bahan-bahan yang telah disbutkan diatas. Untuk memudahkan
pencucian setiap bahan dapat di masukan kedalam kantong yang terbuat dari
waring terutama arang kayu dan pasir kwarsa.
f) Genset
Genset adalah alat yang berfungsi untuk
pembangkit tenaga listrik sebagai pengganti PLN suatu lingkungan
Hatchery. Genset sangatlah penting dalam cadangan arus listrik apabila cadangan
listrik dari PLN putus. Fungsi dari genset adalah sebagai penggerak blower, pompa,
penerangan dan sebagainya. Bahan bakar yang digunakan untuk menggerakkan
generator set tersebut adalah solar. BBAP Situbondo mempunyai 1 buah genset.
4.2.2. Sarana Penunjang
Lainnya
Sarana
penunjang meliputi: Saringan (saringan pakan, larva, dan air), termometer,
salinometer, pompa celup, ember, wadah penetasan Artemia sp, seser, timbangan, selang, alat sipon, dan peralatan
panen.
Tabel 3 .
Sarana Penunjang
No.
|
Nama barang
|
Jumlah
Barang
|
Harga Satuan (Rp)
|
Jumlah Harga
(Rp)
|
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
|
Genset
Mesin
pompa air laut
Mesin
pompa aleon
Pompa
sub mersible pum
Perkakas
mesin dan listrik
Blower
Hiblow
Vortex
blower
Pemadam
kebakaran
Mesin
potong rumput
Timbangan
elektronik
Mikroskop
digital
Refraktometer
Salinometer
Spektrofotometer
Kincir
air pada kolam pemijahan
Alat
sipon
|
4 buah
2
buah
1 buah
2
buah
1
buah
12
buah
2
buah
1 buah
1
buah
1 buah
2
buah
2
buah
4
buah
1
paket
2 buah
5 buah
|
2.500.000
12.000.000
-
40.000
-
30.000
400.000
439.000
3.476.000
350.000
4.900.000
1.250.000
-
-
-
-
|
10.000.000
24.000.000
-
80.000
-
360.000
800.000
878.000
3.476.000
1.250.000
9.800.000
2.500.000
-
-
-
-
|
Sumber: BBAP Situbonbo (2011)
4.2.3. Prasarana
a. Transportasi
Sarana transportasi sangat diperlukan untuk pemasaran
maupun pengangkutan larva juga untuk keperluan lainnya. Beberapa jenis sarana
transportasi sebagai beikut :
ü Mobil
jenis double kabin untuk operasional kepala balai
ü Mobil
jenis Ex trail untuk kendaraan operasional bagian kepegawaian
ü Mobil
jenis kijang Innova untuk kendaraan operasional untuk kegiatan ACIAR PROJECT
ü Mobil
jenis mini bus untuk antar jemput karyawan
ü Mobil
jenis Elf untuk kegiatan budidaya
pembenihan
ü Mobil
jenis Ranger untuk laboratorium berjalan
b. Gudang
Gudang di BBAP Situbondo terdiri atas 3 unit gudang yaitu
:
ü
Gudang
kesehatan ikan dan lingkungan
ü
Gudang
pakan buatan
ü
Gudang
pakan Alami
c. Prasarana Pelengkap
BBAP Situbondo dilengkapi fasilitas pelengkap yang sesuai
dengan kebutuhan antara lain :
ü
Bangunan
perkantoran
ü
Perumahan
ü
Mushalla
ü
Asrama
ü
Perpustakaan
ü
Pos
jaga
V. HASIL DAN
PEMBAHASAN
5.1 Persiapan Bak
Bak pemeliharaan larva berukuran 3,75 m dan lebar 2,75 m
dengan ketinggian 1,25 m dengan kapasitas 10 ton. Bak
pemeliharaan ini terletak di ruangan untuk menghindari cahaya matahari secara
langsung. Bak berbentuk persegi panjang dengan tujuan untuk mempermudah panen.
Persiapan yang dimaksud
adalah mengeringkan dan membersihkan dari segala bentuk kotoran-kotoran dan
segala bentuk kehidupan organisme yang kemungkinan dapat berpengaruh terhadap
kehidupan larva udang, karena organisme yang menempel dan belum mati akan
menyebabkan timbulnya penyakit.
Bak
pemeliharaan terdiri dari bak beton dengan
volume 10 m3 dan di lapisi dengan cat berwarna
biru di karenakan agar mudah dalam pengecekan larva udang.
Adapun langkah–langkah dalam persiapan bak di BBAP Situbondo adalah sebagai berikut :
1) Bak tersebut di cuci
dengan menggunakan diterjen dan di siram dengan menggunakan air tawar karena
air tawar dapat menyeterikan dari sisa-sisa bakteri.
2) Bak diberi kaporit dengan
dosis 100 ppm (100 gram) dan
dibiarkan selama 1 minggu agar bakteri atau pathogen yang ada pada bak mati.
3) Bak kembali dicuci dengan air
tawar dan diberi natrium tiosulfat dengan dosis 10% dari dosis kaporit yang
digunakan.
4) Untuk menghindari pencemaran kotoran dari udara, bak yang
telah dibersihkan tersebut ditutup menggunakan terpal dan bak siap untuk diisi
air. Hal ini berbeda dengan apa yang di katakan oleh Heryadi, D dan Sutadi (1993), yang mengatakan gahwa bak mengunakan
zat-zat kimia seperti klorin dengan dosis 100 ppm, KMnO4 (kalium permanganat)
10 ppm, dan formalin 50 ppm.
Sistem aerasi
pada bak beton menggunakan aerasi gantung dengan jarak setiap aerasi 40 cm agar
setiap pakan yang di berikan teraduk dengan rata dan jarak dari
dasar bak adalah 5
cm agar kotoran dan sisa pakan tidak teraduk.
5.2 Persiapan Media
Air laut yang digunakan di lokasi praktek berasal dari
perairan Selat
Madura dan pengambilannya dilakukan dengan menggunakan pompa submersible dengan jarak ± 500 meter yang dialirkan melalui
pipa berdiameter 6 inchi sedangkan menurut
Heryadi, D dan Sutadi (1993) mengatakan bahwa air
laut yang dibutuhkan adalah air yang berkadar garam 29-31 permil, dan bebas
bahan pencemar. Pengelolaan
air laut yang dilakukan yaitu filterisasi mekanis dan kimiawi. Filterisasi
mekanis yang dimaksud yaitu berupa proses penyaringan melalui sandfilter, sedangkan untuk filterisasi
kimiawi dilakukan dengan menggunakan sinar UV(Ultra Violet) sebanyak 2 kali.
a. Fungsi Ultra
Violet
Ultra
violet merupakan suatu perangkat yang berfungsi untuk menghilangkan atau
menyaring jasad-jasad renik yang tidak dikehendaki.
b. Sistem Kerja
Ada 3 tipe sisitem kerja filter ultra violet; yaitu :
|
|
|
Gambar 2.
Tandon Gambar
3. Penyaringan Air
Sumber: BBAP Situbondo (2011)
Material yang digunakan dalam penyaringan sandfilter antara lain ijuk, pasir
kwarsa, batu apung yang memiliki panjang rata-rata 3,5 cm dan diameter 7 cm
serta arang kayu yang memiliki panjang rata-rata 11 cm dan diameter 15,5
cm. Penyaringan yang dilakukan sebanyak
tiga ulangan dengan urutan penempatan material filter yang digunakan dari atas
ke bawah antara lain pasir kwarsa, batu apung dan ijuk serta arang kayu yang
disusun secara terpisah dari material
lainnya
pada bak yang berbeda bersebelahan dengan bak filter sebelumnya yang bertujuan
untuk menyaring partikel-partikel yang tersuspensi pada air laut, dimana hasil
dari penyaringan sand filter dapat
dilihat dari air laut yang tampak jernih.
Setelah proses filterisasi kemudian air
tersebut dialirkan ke dalam bak penyimpanan air (reservoir) untuk dilakukan
treatmen menggunakan kaporit yang berfungsi sebagai desinfektan terhadap
mikroorganisme pathogen pembawa penyakit. Material filter mekanis dan skema
sand filter penyaringan air laut yang digunakan di lokasi praktek dapat dilihat
pada Gambar
4.
|
a
b
Gambar
4. a. Arang kayu, pasir
kwarsa, batu apung
b. Skema sand filter
penyaringan air laut
Sumber: BBAP Situbondo (2011)
Proses
pengelolaan air laut yang dilakukan di lokasi praktek dirasa sudah cukup
efektif, hal ini dibuktikkan dengan pengecekkan kandungan bakteri pada air
tersebut di Laboratorium Kesehatan Lingkungan. Dimana hasil yang diperoleh
menunjukkan bahwa kandungan vibrio dalam batas normal yaitu 10 CFU/ml. Air yang
dinyatakan steril akan ditransfer kedalam tandon/tower yang terletak pada
ketinggian 30 m diatas permukaan tanah dan siap untuk di distribusikan pada unit
pemeliharaan induk dan larva maupun kebutuhan kultur pakan alami.
Meskipun
demikian pengelolaan air seperti ini tetap memiliki kekurangan dengan masih
adanya protozoa dalam air, namun jumlahnya masih dapat ditolerir.
Pengisian air laut ke dalam
bak larva dilakukan dengan
menggunakan filter bag. Air laut langsung di transfer
dari tandon yang sebelumnya telah di lakukan perlakuan UV( Ultra Violet) di bak
tandon dan di salurkan ke bak larva. Bak tandon ditutupi dengan
terpal agar kotoran tidak masuk ke dalam bak tandon hal
ini sesuai dengan pendapat Subaidah dkk (2006) yang menyatakan bahwa bak
filter mekanis diisi dengan beberapa material untuk menyaring partikel-pertikel
yang tersuspensi pada air laut dan beberapa material yang digunakan adalah batu
kali ukuran sedang, batu kali ukuran kecil (kerikil), ijuk, arang kayu serta
pasir kwarsa (silika).
Sumber air tawar Balai Budidaya Air Payau (BBAP)
Situbondo berasal dari sumur bor yang disedot dengan pompa penghisap yang
dipasang dengan kedalaman 40 meter. Air tawar digunakan untuk mencuci bak dan
peralatan produksi, menurunkan kadar garam air laut serta untuk kebutuhan sehari-hari
bagi para karyawan Balai Budidaya Air Payau (BBAP) Situbondo .
5.3 Penebaran Nauplius
Penebaran nauplius udang vaname dilakukan pada
pagi hari , hal ini agar fluktuasi
suhu tidak tinggi yang dapat menyebabkan larva stress dan mengalami kematian. Nauplius yang di tebar
berasal dari pemijahan induk yang di lakukan di BBAP Pecaron.
Sebelum nauplius
dimasukan ke dalam bak pemeliharaan, terlebih dahulu dilakukan proses aklimatisasi yaitu
pengadaptasian lingkungan baru bagi naupli agar tidak terjadi stress hal ini sesuai dengan apa yang di katakan oleh Heryadi, D dan Sutadi (1993), yang mengatakan sebelum naupli ditebar ke dalam bak perlu diperhatikan salinitas,
kondisi naupli, dan suhu air media. Proses aklimatisasi dilakukan dengan
mencampurkan naupli dengan air baru pada bak pemeliharaan, naupli ditaruh
didalam sebuah baskom yang nantinya akan dialirkan ke dalam baskom lain yang
berisi air baru. Proses aklimatisasi selesai jika baskom yang berisi air baru
telah tenggelam ke dalam air bak pemeliharaan. Nauplius yang di tebar pada bak pemeliharan 1.170.000 ekor/bak (10 ton)
117.000 /ton.
Gambar 5. Proses
Aklimitasi (Data Primer, 2011)
5.4 Manajemen Pakan
5.4.1 Pakan Alami
Pakan alami merupakan pakan yang sudah tersedia
di alam. Pakan
alami yang digunakan di BBAP Situbondo adalah artemia salina dan skelotonema costatum hal ini sesuai
dengan apa yang di katakan oleh (Heryadi
D dan Sutadi, (1993), yang mengatakan pakan alami yang biasa
diberian pada larva udang vannamei yaitu Skeletonema
costatum dan Artemia sp.
a. Artemia salina
Nauplius artemia merupakan pakan alami jenis zooplankton
yang diberikan pada larva udang mulai dari stadia post larva 1
sampai selanjutnya hal ini berbeda dengan apa yang di katakan oleh (Heryadi
D dan Sutadi, (1993) yang mengatakan pakan alami ini sangat
dibutuhkan pada stadium akhir napulius (N-6) atau awal stadium zoea. Pemberian
nauplius artemia dikarenakan banyak mengandung nilai nutrisi yang sangat
dibutuhkan oleh larva dan merupakan zooplankton yang bergerak aktif sehingga
dapat merangsang serta meningkatkan nafsu makan larva udang. Kandungan nutrisi
dapat di lihat pada:
Tabel 4 Kandungan Nutrisi Naupli Artemia
No.
|
Kandungan Nutrisi
|
Komposisi (%)
|
1.
|
Protein
|
40 – 60
|
2.
|
Karbohidrat
|
15 – 20
|
3.
|
Lemak
|
15 – 20
|
4.
|
Air
|
1 -10
|
5.
|
Abu
|
3 – 4
|
Sumber : BBAP Situbondo, (2011)
1. Proses Dekapsulasi
1 kaleng
cyste artemia dibuka dan dituang ke dalam timba,
rendam cyste artemia dengan air tawar ± 10 liter
dan berikan chlorine. Fungsi dari chlorine adalah melarutkan senyawa lipoprotein pada cangkang telur artemia
yang banyak mengandung heamatin
sehingga mempercepat pengikisan cangkang telur artemia. Proses dekapsulasi Artemia
sp dapat dilihat pada Lampiran 4.
Tekanan
adukan yang kuat yang bertujuan menghomogenkan larutan chlorine
dalam proses dekapsulasi. Setelah dekapsulasi cyste artemia, saring dengan
memakai saringan 100 µ di dalam timba, lalu dibilas hingga bersih dengan air
tawar sampai bau chlorine. Selama proses dekapsulasi diusahakan suhu tidak lebih
dari 40ºC karena dapat menyebabkan artemia terbakar dan mati. Proses dekapsulasi diulang 3 - 4 kali yang diakhiri
dengan perubahan warna dari warna awal (coklat) menjadi merah bata. Kemudian
diletakkan pada baskom yang dibagi menjadi empat bagian. Setiap proses pengkulturan hanya
membutuhkan satu bagian saja dan sisanya dimasukkan ke dalam lemari pendingin.
Kultur dilakukan setiap hari pada pagi hari
untuk memasok naupli artemia pada keesokan harinya.
Tong
plastik yang menjadi tempat kultur atau menetaskan cyste artemia bervolume 250
liter diisi air laut yang telah steril sebanyak 200 liter dan diberi aerasi.
Cyste artemia akan menetas menjadi nauplius artemia sekitar 12 - 24 jam.
Keuntungan dari dekapsulasi artemia adalah:
1.
Membunuh
bakteri dan jamur yang terdapat pada cyste melalui pemberian chlorine.
2.
Mengurangi
kotoran cangkang setelah penetasan karena adanya penipisan pada cangkang.
3.
Lebih
cepat menetas karena nauplius artemia mudah merobek cangkang yang tipis,
sehingga tingkat penetasan tinggi.
b.
Skelotonema costatum
Skelotonem costatum merupakan salah satu jenis phytoplankton
dari kelompok diatom. Dalam kegunaannya Balai Budidaya Air Payau Situbondo
menggunakan skelotonema ini sebagai
pakan alami larva udang vaname dari N-M3.
Frekuensi pemberian nauplius Artemia
sama dengan Skeletonema costatum yaitu hanya dua kali dalam sehari, pagi
(07.00) dan sore hari (15.00).
5.4.2
Pakan Buatan
1. Jenis Pakan Buatan
Pakan
buatan merupakan pakan yang diberikan pada larva udang selama proses
pemeliharaan selain pakan alami. Pakan buatan berperan sebagai pakan tambahan
dan untuk menjaga agar tidak sampai terjadi under
feeding. Hal ini sependapat Sumeru dan Anna (1992), yang menyatakan bahwa
pakan buatan merupakan alternatif yang penyediaannya secara continue atau berlanjut memungkinkan
dapat digunakan sebagai pengganti atau pelengkap makanan hidup.
Di
BBAP Situbondo pakan buatan diperoleh atau didapat
dengan tidak memilih bahan dan meramu pakan secara manual atau dibuat sendiri
melainkan diperoleh dengan membeli langsung dari produsen pembuat pakan buatan
atau pabrik dalam bentuk powder dan
cair. Pakan buatan yang digunakan bermerek Rotemia yang
memiliki komposisi atau kandungan nilai gizi dan nutrisi yang tinggi yang
sangat diperlukan bagi pertumbuhan larva udang.
Tabel 5 Pakan Buatan
No
|
Nama Pakan Buatan
|
Stadia
|
Komposisi
|
1
|
RotemiaTM
|
N
Mysis3
|
Protein min 52%, lipid 16 %, Fiber max 7 %, moisture 8 %, Ash max 6,5 %
|
2
|
Rotofier
|
Z
PL5
|
Protein min 50%, moisture max 8%, Fiber max 6%, lipid 16%,
Ash max 6,5%
|
3
|
Brine Shrimp Flakes
|
Z
PL15
|
Protein min 48%, lipid 12%, Fiber max 3%, moisture 8%, Ash
max 10%
|
Sumber : BBAP Situbondo (2011)
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5. Pakan
Buatan ( Data Primer,
2011)
Tabel 6 Ukuran pakan
NO
|
Jenis
Pakan
|
Ukuran
|
1
|
Mesh
Net
|
Mesh
(75 µm-150 µm)
|
2
|
Rotofier
|
150-200
meshes (50-100 µm)
|
3
|
Dosage
(g/ meal)
|
1- 2
(2,5 - 3,5)
|
Tabel
6. Sumber : BBAP SItubondo
(2011)
5.5 Manajemen Kualitas Air
Pengelolaan kualitas air pada
pemeliharaan larva dilakukan dengan beberapa cara, yaitu monitoring, pengecekan
kualitas air, dan pergantian air (water exchange). Monitoring kualitas
air dilakukan setiap hari yaitu pada pagi hari dan sore hari. Parameter yang
dilakukan monitoring secara rutin adalah suhu. Suhu merupakan faktor penting
bagi metabolisme dan metamorfosis larva. Suhu untuk pemeliharaan larva yaitu
berkisar 30-32o C. Pengecekan kualitas air dilakukan pada setiap
pergantian stadia, parameter yang diukur adalah salinitas. Menurut BBAP Situbondo salinitas yang baik untuk pemeliharaan
larva berkisar 29-34 %0 hal ini
tidak sesuai dengan apa yang di katakan oleh Elovaara,
A.K (2001), yang mengatakan
salinitas air 26-30 %0. Selain pengukuran
parameter tersebut juga dilakukan pergantian air dan penambahan air.
Pengisian pada awal penebaran naupli
adalah 50% dari volume bak pemeliharaan, saat stadia zoea ditambahkan sampai 70%,
stadia mysis 80%, dan stadia post larva mencapai 100%.
Pergantian air dilakukan setelah larva
mencapai stadia mysis2 sampai PL3 berkisar 10-40% dan PL4
sampai panen PL10 mencapai 50-100% dari volume bak pemeliharaan yang
terisi. Hal ini juga dilakukan bila terjadi blooming plankton atau
banyak larva yang mati. Pergantian air biasanya dilakukan pagi dan sore hari,
hal ini dilakukan untuk menghindari penurunan atau peningkatan suhu yang
terlalu besar sehingga dapat menyebabkan kematian pada larva. Penyesuaian suhu
air pada proses pergantian air juga dilakukan untuk menghindari tumbuhnya jamur
pada dasar bak pemeliharaan.
Gambar 6.
Refraktometer (Data Primer, 2011)
5.6 Pengamatan
Kondisi dan Perkembangan Larva
Pengamatan kondisi dan perkembangan larva penting
dilakukan karena larva udang memiliki beberapa stadia. Pengamatan ini bertujuan
untuk mengetahui kondisi fisik dan perkembangan tubuh larva yang dapat
digunakan untuk mengetahui jumlah populasi sehingga dapat menetukan jumlah
pakan yang diberikan.
Pengamatan dilakukan secara makroskopis. Pengamatan makroskopis
dilakukan secara visual dengan mengambil sampel langsung dari bak pemeliharaan menggunakan backer
glass kemudian diarahakan ke cahaya untuk melihat kondisi tubuh larva,
pigmentasi, usus, sisa pakan, dan kotoran atau feses.Pengamatan ini dilakukan
untuk mengamati morfologi tubuh larva, keberadaan parasit, patogen yang
menyebabkan larva terserang penyakit.
1. Fase naupli gerakannya berenang dan berhenti.
2. Fase zoea gerakannya konstan, pergerakannya
melingkar dan selalu makan sehingga dibagian tubuh belakangnya menempel kotoran
yang mirip ekor.
3. Fase mysis gerakannya kadang menjentik atau
membengkokkan tubuhnya dan berenang mundur.
4. Larva masuk stadia PL apabila badan lurus, berenang maju
dan sudah tampak seperti udang dewasa.
Perbedaan tiap stadia ini sesuai dengan pendapat
Martosudarmo dan Ranoemiraharjo (1980) yang menyatakan bahwa fase naupli
berenang sesuai pergerakan air, fase
zoea telah tampak alat pencernaan, fase mysis bergerak cukup aktif dan fase
post larva sudah berbentuk udang dewasa.
5.7 Pencegahan dan Pengendalian Penyakit
Proses pencegahan penyakit dilakukan
mulai dari penerapan biosekuriti dengan menggunakan PK (Kalium Permanganat)
atau kaporit sebanyak 1-2 ppm yang ditempatkan pada awal pintu masuk ruangan.
Selain penerapan biosekuriti juga dilakukan sanitasi peralatan yang dilakukan
sebelum dan sesudah pemakaian peralatan dengan cara merendam menggunakan
kaporit atau formalin 100 ppm. Pada pemeliharaan larva dilakukan pemberian
obat-obatan yang aman seperti vitamin C, Ethylene Diamine Tetra Acetic (EDTA), formalin, dan probiotik.
Vitamin C pada setiap pemberian pakan berguna untuk meningkatkan ketahanan
tubuh larva. Pemberian formalin juga dilakukan untuk menguji tingkat keprimaan
larva yang dipelihara. EDTA berfungsi sebagai pengikat bahan organik dan logam
berat, sedangkan pemberian probiotik yang dilakuakan secara rutin dapat
meningkatkan kekebalan tubuh larva terhadap serangan pathogen. Probiotik juga
dapat menekan pertumbuhan bakteri Vibrio harveyi. Jenis organisme yang
umumnya menyerang larva udang vaname adalah golongan protozoa, virus, jamur,
bakteri, dan cacing.
Pengendalian penyakit yaitu melalui pendekatan Better Management Practice (BMP).
Penerapan BMP dipembenihan meliputi proses skrining, manajemen kualitas air,
dan penggunaan bahan pengendali yang aman. Proses skrining yaitu proses
budidaya dengan menggunakan teknik polymerase
chain reaction (PCR). Skrining dilakukan pada
induk dan benih siap tebar. Melalui skrining inilah didapatkan induk dan benih
udang yang berkualitas dan bebas dari virus maupun bakteri.
Pengelolaan
kualitas air yang baik memegang peran peting dalam keberhasilan
pembenihan. Penyakit yang ditimbulkan oleh bakteri, fungi, parasit yaitu
bersumber dari air. Oleh karena itu air sebelum digunakan untuk kegiatan
budidaya harus dilakukan proses filtrasi, perlakuan ozon, dan penyinaran
ultraviolet agar patogen yang terkandung dalam air mati. Selain itu penggunaan
obat-obatan yang aman bagi kesehatan perlu dilakukan, seperti penggunaan bahan
yang bersifat immunostimulan. Immunostimulan yang sering digunakan adalah
pemberian probiotik yang sifatnya ramah lingkungan dan aman bagi manusia. Hal ini tidak sesuai dengan
pendapat Subaidah dkk (2006) yang menyatakan bahwa pemberian obat-obatan yang
aman yaitu treflan dan EDTA.
Gambar 8. Tempat Mencuci Kaki dengan Larutan PK Sebagai Penerapan Biosecurity
(Data Primer, 2011)
5.8 Pemanenan dan Perhitungan (SR)
Perhitungan SR dilakukan dengan menggunakan metode
sampling. Sampling dilakukan dengan mengambil sampel dari 3 titik pada setiap
bak dengan menggunakan backer glass. Kemudian dilakukan perhitungan
benih hasil sampling dan diperoleh jumlah benih yang berada dalam satu bak. Hasil
rata – rata tiap bak yaitu 300.000 ekor.
Pemanenan benih
dilakukan setelah benih pada stadia PL5
sampai PL10 atau sesuai dengan pesanan. Pemanenan dilakukan dengan
menurunkan air sebanyak 50%. Setelah itu pipa saringan dalam diangkat sehingga
air dapat keluar tanpa ada penghambat. Sebelum pipa saringan dalam diangkat,
pipa outlet terlebih dahulu
diturunkan, dan air dari saluran pengeluaran ditampung pada jaring (Egg Collector) berbentuk kotak yang terbuat
dari bahan kain strimin berukuran 500
mikron. Benih yang tertampung pada egg
collector disaring kemudian ditransfer ke bak penampungan yang bervolume 1
ton. Benur yang ada pada bak 1 m3 nantinya akan dibagi kedalam
kantong – kantong plastik yang berisi satu liter air. Kepadatan benur tiap kantong
bervariasi tergantung ukuran benur, biasanya 2000-3000 ekor/kantong.
Kantong-kantong tadi nantinya akan dibawa ke tempat packing. Survival rate yang diperoleh selama
pemeliharaan larva sampai (PL5)
dengan perhitungan dengan cara 300.000/1.170.000x100% dan menghasilkan
survival rate dengan rata – rata 25,6
% hal ini menunjukan bahwa pemeliharaan larva yang
dilakukan di BBAP Situbondo di rasa cukup optimal dalam pemeliharaannya hal ini
tidak sesuai dengan apa yang di kata oleh (Heryadi D dan Sutadi 1993) yang mengatakan bahwa survival rate dalam pemeliharaan larva dengan rata-rata 30%.
a. Cara Panen
Terlebih dahulu air dalam bak pemeliharaan larva diturunkan
hingga 70% (volume bak 10 ton terisi air sebanyak 35 ton diturunkan menjadi 18
ton) melalui pipa goyang atau pipa pengeluaran dan pipa saringan bagian dalam
hal ini sesuai dengan apa yang di katakan oleh (Heryadi
D dan Sutadi 1993), yang mengatakan bahwa sebelum pemanenan harus mengurangi
ketinggian air hingga 6-10 cm sehingga benur mudah ditangkap dengan menggunakan
serok. Air yang keluar ditampung dengan menggunakan ember
bersaring dengan ukuran saringan 300 µ untuk menampung benur yang mungkin ikut
keluar saat pengurangan air. Benur diseser dan ditampung dalam baskom
bersaring. Setelah jumlah benur dalam bak berkurang, pipa saringan bagian dalam
dilepaskan untuk dilakukan panen total. Selanjutnya disaring kembali dengan
saringan rangka besi ukuran 50 x 70 cm.
Setelah pemanenan selesai, dilakukan sampling kepadatan
benur dengan menggunakan takaran yang telah diperhitungkan dari setiap sampling
tersebut, yakni dengan menggunakan skopnet dengan jumlah benur sebanyak 2.000
ekor/skopnet.
b. Pengemasan
Benur yang telah dipanen dan ditakar dituang dalam
kantong plastik yang telah diisi air laut sebanyak 2 liter. Kemudian diberi
oksigen (O2) dengan perbandingan air laut dan O2 1:1,5
atau sesuai dengan kepadatan dan jarak pengiriman. Ikat dengan karet gelang,
dikemas ke dalam kardus yang berkapasitas 16 kantong masing-masing bervolume 2
liter dengan kepadatan 1.500 - 2.500 ekor/kantong dengan perbandingan air laut
dan O2 1:1,5. Kardus di tutup rapat dan diisolasi.
Gambar
9. Panen larva (Data Primer 2011)
5.9 Pasca Panen
Penanganan pasca panen yang dilakukan adalah menyeterilkan bak dari
bakteri yang menempel pada dinding bak. Bak di cuci dengan menggunakan
diterjen dan juga menyiram bak dengan air tawar lalu bak di keringkan selama 1
minggu. Limbah yang di hasilkan dari pemeliharaan larva di buang melalui
saluran pembungan air.
Thank's Infonya Bray .. !!!
BalasHapuswww.bisnistiket.co.id
informasi cara kirim hewwan ke luar daerah dan cara pembuatan karantinannya
BalasHapushttp://sijagoan-kirimbarang.blogspot.co.id/
semoga membantu usaha anda
sangat bermanfaat
BalasHapus